Foto: airmail.com
Sebuah tragedi memilukan terjadi di Holcomb, Kansas, Amerika serikat pada 15 November 1959. Pagi itu Herbert "Herb" Clutter, istri dan kedua anaknya tewas terbunuh. Dua orang yang menjadi tersangka adalah Richard Eugene "Dick" Hickock dan Perry Edward Smith.
Setelah berhasil ditangkap di Las Vegas pada 30 Desember 1959, keduanya kemudian ditahan di penjara negara Kansas. Berikutnya Dick dan Smith dinyatakan bersalah dalam persidangan yang hanya berlangsung selama 45 menit.
Keduanya dijatuhi vonis mati dengan cara digantung lima tahun setelah keputusan hakim ditetapkan pada tahun 1960. Sebelumnya Dick dan Smith mengajukan banding ke Mahkamah Agung Amerika Serikat sebanyak tiga kali. Dick menjalani hukuman gantung selama 20 menit dan dinyatakan meninggal pada 14 April 1965 pukul 12.41. Smith kemudian menyusul dan dinyatakan meninggal pada pukul 1.19.
Kronologi dan pengakuan Smith atas kejahatan yang dilakukan dituliskan Truman Capote dalam sebuah buku berjudul In Cold Blood terbitan Random House. Buku non-fiksi yang terbit tahun 1966. Sebelumnya karya Capote ini diterbitkan pada koran New Yorker dalam empat bagian. ini disebutnya sebagai sebuah bentuk dari jurnalisme baru (New Journalism).
Dia menyebutkan demikian karena paparan fakta pembunuhan hingga menjelang eksekusi mati kedua tersangka disampaikan berupa narasi. Paparan panjang seperti penulisan karya fiksi dan lengkap dengan dialog-dialognya. Buku ini justru disebutkan lengkap setelah Dick dan Smith meninggal.
Capote melakukan penelitian mendalam, membuat banyak catatan, surat menyurat dan bahkan wawancara langsung dengan pihak-pihak terkait. Konon, buku ini adalah hasil dari rangkuman catatan setebal 8.000 halaman. Selain ingin meliput peristiwa ini, Capote secara pribadi tertarik pada karakter Perry Smith. Menurutnya, Smith memiliki perasaan yang lebih sensitif.
Gaya penulisan jurnalistik semacam ini mendapatkan kritik positif dan negatif secara bersamaan. Dua diantaranya adalah Tom Wolfe dan Kate Colquhoun yang menyebutkan bahwa karya Capote adalah karya jurnalistik yang lahir dalam bentuk novel.
Inilah kemudian yang menjadi titik awal lahirnya literary journalism atau jurnalisme sastrawi. Jurnalisme sastrawi tidak mengikuti gaya pelaporan jurnalisme objektif yang formulaik maupun gaya jurnalisme interpretatif berbasis opini. Robert Vare menyebut bahwa pelaporan gaya ini tidak seperti sebuah foto melainkan sebuah video.
Jurnalisme sastrawi cenderung memunculkan bentuk seni karena menghadirkan suara dan karakter pada peristiwa sejarah, berfokus pada konstruksi adegan daripada menceritakan kembali fakta. Andreas Harsono kemudian menyampaikan pemikiran Vare bahwa pelaporan ini adalah sebuah narasi dan setidaknya ada tujuh hal yang harus dipertimbangkan.
Fakta
Sebagaimana karya jurnalistik yang mengedepankan fakta, pelaporan dalam gaya narasi harus tetap menyucikan fakta. Dalam penulisannya pun, verifikasi tetap menjadi esensi dari jurnalisme.
Artinya pelaporan harus disampaikan sesuai dengan fakta. Tidak boleh ada perubahan atau penyamaran nama orang, tempat dan lainnya. Penulis harus menyampaikan putih adalah putih, Jakarta sebagai Jakarta, dan Jokowi sebagai Jokowi.
Konflik
Sebuah tulisan berupa narasi akan lebih mudah dipertahankan daya pikatnya melalui konflik. Keberadaan konflik ini bisa menyebutkan konflik atau sengketa yang dialami siapa pun dengan orang lain, dirinya sendiri dan masyarakat.
Konflik mendasari permasalahan muncul ke permukaan. Pemicu konfliknya pun bisa beragam dan berlapis-lapis. Namun tanpa konflik, sebuah narasi tidak bisa terbangun dan menarik perhatian.
Tokoh
Setiap cerita selalu memunculkan tokoh-tokoh tertentu. Mereka adalah pengikat cerita yang disampaikan. Sebagimana dalam karya fiksi, suatu peristiwa dan konflik menghadirkan tokoh utama dan pembantu.
Keduanya lazim ada bahkan menjadi penting. Seperti halnya Capote menjadikan Dick dan Smith sebagai tokoh utama dalam bukunya, begitulah pentingnya tokoh dalam menampilkan sudut pandang.
Akses
Sebagai seorang penulis atau jurnalis, memiliki akses terhadap isu yang sedang dilaporkan adalah sebuah keharusan. Sebelum mengajukan narasi pun sudah sewajarnya kita memiliki akses pada para tokoh terkait.
Selain itu, akses yang dimaksud pun bisa mencakup hasil wawancara, dokumen-dokumen resmi, korespondensi, foto, buku harian, gambar dan lainnya. Capote pun memiliki 8.000 halaman catatan terkait pembunuh keluarga Clutter.
Emosi
Setiap peristiwa memiliki emosi tersendiri dari para tokoh. Jenis emosinya pun bisa beragam dan berubah seiring waktu. Menuliskan narasi dengan tokoh yang memiliki emosi kuat sangat mudah.
Smith, misalnya, dia mengakui kejahatan yang dilakukannya. Capote pun menganggap Smith lebih mudah menyampaikan perasaannya. Bahkan, Smith memohon maaf sebelum dia dieksekusi mati.
Perjalanan Waktu
Narasi melaporkan peristiwa seperti sebuah video ditampilkan pada penonton. Ini berbeda dengan jenis jurnalistik lain yang cenderung berupa jepretan sebuah foto.
Para pembaca dapat mengikuti peristiwa yang berjalan bersama waktu. Penulis pun mengetahui konsekuensinya dan menyusun struktur narasinya. Pemilihan penyampaian narasi berupa kronologis, flash back atau foreshasowing bergantung pada kebutuhan narasi.
Unsur Kebaruan
Setiap peristiwa dapat disampaikan dengan beragam cara dan gaya. Dengan gaya pelaporan jurnalistik semacam ini, penulis menawarkan sudut pandang baru karena memiliki cakupan narasumber yang lebih luas.
Menulis jurnalisme sastrawi tidak perlu seperti menulis puisi yang penuh dengan rima. Bahkan, seringkali bahasa yang digunakan tidak puitis, sebab esensi dari penulisan jurnalisme sastrawi adalah fakta. Seorang jurnalis bisa menjadi sastrawan tetapi seorang sastrawan belum tentu bisa menjadi jurnalis.
Menuliskan suatu peristiwa kepada pembaca seperti seorang teman lama, melibatkan emosi pembaca dan membuat mereka memahami peristiwa yang terjadi, bisa kupahami sebagai esensi jurnalisme sastrawi.
Komentar
Posting Komentar