Langsung ke konten utama

Membaca buku fisik di era digital, masihkah relevan?

                 Sumber: freepik.com

Sejak pertama kali purwarupa komputer diciptakan di tahun 1822 oleh Charles Babbage, komputer dan media penyimpanan data sudah mengalami evolusi yang luar biasa. Di tahun 1990an, media penyimpanan terpopuler adalah floppy disk. Alhasil menyimpan data dengan ukuran besar bisa mengunakan dua atau tiga buah floppy disk. Tas kuliah atau kerja pun terasa semakin besar dan berat.

Perubahan pun terjadi dengan cepat. Di era 21 ini, semua data sudah tersimpan di "awan" alias cloud storage. Semuanya menjadi cepat, mudah, dan ringkas. Apapun jenis data yang disimpan atau dibutuhkan bisa segera diakses dalam hitungan detik dimana pun kita berada. Begitu juga dengan buku yang mengalami evolusi, dari tablet tanah liat menjadi buku digital. Buku digital sudah mulai dikenal sejak akhir tahun 1990an ketika perusahaan penerbitan Peanut Press menjual buku-bukunya dalam bentuk digital. Para pembaca menggunakan sebuah perangkat cerdas bernama Personal Digital Assistant (PDA). 

Perangkat ini adalah cikal bakal perangkat baca buku digital Kindle dan sejenisnya,ponsel cerdas dan komputer tablet. Meski peredaran buku digital ini dianggap tidak menarik atau menguntungkan dalam industri penerbitan hingga tahun 2002, sekarang ribuan buku didistribusikan dalam bentuk buku elektronik (e-book) berformat PDF atau epub. Tentunya ini dibarengi dengan banyaknya opsi perangkat baca buku elektronik mulai dari Sony dan Kindle.

Berdasarkan penelitian di Asosiasi Penerbit Amerika (AAP/Association of American Publishers) di rentang tahun 2002-2012, Kindle dari Amazon berhasil meningkatkan angka penjualan buku elektronik. Kindle Amazon setidaknya menyumbang 20 persen dari pasar buku di Amerika Serikat, ini hanya sekitar setengah dari rilis baru yang populer berasal dari edisi elektronik, dan sepertiga populasi orang dewasa di Amerika Serikat yang memiliki perangkat baca buku elektronik atau tablet. Pasar buku elektronik di Indonesia per April 2023 saja sudah mengalami peningkatan sebesar 8,3% atau sekitar Rp560 miliar.

Data yang dikeluarkan Statista ini bisa menjadi salah satu fakta bahwa buku elektronik semakin digemari pembaca. Dan, fakta ini pada satu sisi mungkin juga didorong oleh adanya perubahan gaya hidup masyarakat urban ke arah minimalis, nil sampah dan frugal yang menyadari bahwa memilih paperless dapat memangkas jejak karbon dan menyelamatkan bumi. 

Buku fisik, di sisi lain, masih tetap populer di berbagai kalangan, khususnya orang tua dan anak-anak. Para penyuka buku fisik menyebutkan bahwa mereka lebih banyak mendapatkan manfaat dari membaca buku fisik dan memiliki hubungan emosional dengan buku daripada buku elektronik. Selain itu, buku fisik membantu pembaca dalam memahami bacaan karena mereka tidak terdistraksi oleh hal-hal lain seperti ketika membaca buku elektronik.

Jadi, membaca buku fisik di era digital ini masih sangat relevan. Memadukannya dengan buku elektronik dengan format PDF atau suara bisa menjadi pilihan selagi pembaca merasa jenuh untuk membaca. Selamat membaca.

Komentar

  1. Saya lebih suka membaca buku fisik, tapi kalau lihat tumpukan buku di rumah jadi berpikir berulang kali membeli buku fisik, hehe. Terima kasih kak, datanya lengkap

    BalasHapus
  2. Entah kenapa, masih lebih prefer buku fisik, walaupun untuk sekarang memang agak kurang praktis. Tapi saya suka kasih tanda dan highlight quotes-quotes yang saya suka di buku. Jadul generation hehehe. Risetnya mantap Kak.

    BalasHapus
  3. Aku masih suka baca buku fisik juga kok. Kalau baca digital enak sih bisa pinjem dan aksesnya mudah, cuman suka ke distrak kalau ada notif WhatsApp wkwkwk😂

    BalasHapus
  4. Aku tim yang masih suka bawa buku kemanapun, dan lebih nyaman aja baca buku fisik ketimbang digital. 😄

    BalasHapus
  5. Saya tim buku fiksi. Ya tanpa menyampingkan buku2 digital wk

    BalasHapus
  6. Kalau boleh jujur aku lebih suka baca buku fisik sih. Tp semenjak punya anak mau ga mau beralih menjadi pembaca elektronik. Pertimbangannya karena bukuku selama ini banyak yang robek dan dicoret anak hiks. Pertimbangan kedua karena ga ada tempat buat nampung buku fisik di rumah. Terakhir kali bukuku banyak yg rusak dimakan rayap. Ditambah saat ini prioritas adalah membeli barang rumah tangga. Mau ga mau akhirnya say good bye Sementara pada buku fisik.. Hiks.

    BalasHapus
  7. Entah kenapa kalo baca buku elektronik mataku cepat lelah huhuhu

    BalasHapus
  8. Kalau untuk tujuan praktis memang enak buku elektronik. Tapi ya begitu, kita tidak bisa leluasa menandai atau mencoret-coret buku. Mata juga mudah lelah. Saya lebih suka buku fisik sih terutama buku non fiksi

    BalasHapus
  9. Buku fisik itu memberikan ikatan emosional hanya dengan mencium bau kertasnya, meraba permukaan covernya, atau rasa puas bisa memberi tanda dgn stabilo/pulpen untuk menegaskan hal2 penting di dalamnya. Tapi memiliki banyak buku fisik, cukup merepotkan untuk orang yg tinggalnya berpindah-pindah, seperti saya 😁

    BalasHapus
  10. Walaubagaimanapun juga saya masih tetap kubu buku fisik. Meskipun tak jarang membaca di laman buku elektronik. Rupanya seperti kebanyakan yang komen di sini. Buku fisik lebih nyaman karena kita memegangnya. Bahkan aroma buku baru itu bikin candu. Hehehe. Ibarat uang lebih baik fisik, walaupun mobile banking lebih mudah. Hihihi. Anyway terima kasih untuk infonya Kak. 🙏

    BalasHapus
  11. Kalau saya pribadi yang matanya udah empat lebih suka buku fisik. Selain itu kalau membaca dengan buku fisik ada aroma khas bau kertas yang bikin baca jadi lebih menghayati. Tapi memang balik lagi sih karena untuk lebih fleksibel agar dibawa kemana mana mungkin buku digital sewaktu-waktu juga diperlukan. Nice info kak.. 🙏

    BalasHapus
  12. nice info kak.. risetnya oke punya jadi nambah insight baru buatku..

    BalasHapus
  13. kalau sy lebih suka buku fisik karena kebiasaan biar bisa dicoret-coret alias diberi garis bawah, hehehe. sy setuju dengan pernyataan kalau baca lewat buku digital lebih banyak distraksinya, entah itu dari sosial media atau ketika mata jenuh dengan gawai

    BalasHapus
  14. Aku menggarisbawahi "menyelamatkan bumi". Memang betul, aku tertarik ingin membaca buku digital juga karena itu. Selain perihal keenomisan, yang mana buku digital lebih murah daripada buku cetak. Tapi tetep, walaupun demikian, buku fisik masih menjadi pujaan hati, hihihi. Terima kasih loh kak, remindernya. untuk peduli bumi, dengan mengurangi kertas

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rahasia Unggul Keterampilan Literasi Untuk Manusia Modern

The Purpose of learning is growth, and our minds, unlike our bodies, can continue growing as we continue to live. (Mortimer Adler) Menjelang akhir tahun 2023, Mendikbudristek Nadiem Makariem menyampaikan skor pencapaian kemampuan membaca Indonesia di tahun 2022. Indonesia mendapat skor 359 poin dalam penilaian  Programme for International Student Assessment  (PISA) itu. Goodstats menyebutkan bahwa angka ini justru terendah sejak 2000, sebab Indonesia pernah mencapai skor 402 di 2009. Tahun 2018 saja Indonesia mendapat skor 371 poin untuk kemampuan membaca. Memang sih banyak faktor penyebab yang bisa membuat skor ini anjlok. Salah satunya bisa jadi karena penilaian ini dilakukan ketika kita sedang ada dalam kondisi pandemi Covid-19 sehingga kegiatan pembelajaran menjadi tidak maksimal. Meski sebetulnya ini juga bisa disiasati dengan kegiatan dan proses pembelajaran di rumah bersama orang tua. Sayangnya memang kondisi di lapangan tidak ideal dan jauh dari harapan, apalagi ketik...

Wah Ternyata Ada Loh Sastra Anak, Yuk Kenali 10 Jenisnya!

Don't just teach your children to read, Teach them to question what they read. Teach them to question everything. (George Calin) Selama ini kita mungkin sering kebingungan dengan pilihan dan jenis buku untuk anak-anak. Buku bacaan anak-anak sebetulnya sudah mempunyai standar sendiri. Jenisnya juga lebih beragam karena sesuai dengan usia dan kemampuan membaca anak. Tapi tahukah kalau sebetulnya buku-buku yang beredar itu termasuk sebagai sastra anak? Pada dasarnya sih, sastra anak ini adalah buku dengan segala jenis bentuk dan genre yang memang sengaja ditujukan untuk anak-anak dan remaja. Tema dan gaya penceritaannya beragam dengan tujuan membantu pemahaman dan perkembangan mereka. Kalau menurut Dr. Dorothea Rosa Herliany, pakar sastra anak, sastra anak mempunyai banyak bentuk seperti cerita, puisi atau drama. Tujuan dari sastra anak adalah membangun imajinasi, mengajarkan nilai dan norma, juga memahami dunia di sekitar mereka.  Buku anak-anak terkadang menyajikan beragam tema...

Bookstagram 101: Tips Nge-Bookstagram Untuk Pemula

"Pengen deh rasanya jadi booktok atau bookstagram, tapi gimana ya?" Kalau sempat terlintas di pikiran kita soalan di atas, tulisan saya kali ini pas untuk disimak. Tahu ngga kalau hobi membaca dan senang berbagi pengalaman soal buku bisa banget jadi bekal kita sebagai seorang bookstagram?  Sering kita melihat foto-foto buku  aesthetic , review dan rekomendasi buku, dan tips baca buku dalam setiap akun seorang bookstagram . Kalau kita tertarik untuk jadi seorang bookstagram, ternyata ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Nah, tulisan ini adalah intisari dari diskusi daring perdana Chillax  di Instagram pada Juni lalu. Bahasan topiknya adalah kehadiran buku di era digital dan bookstagram . Diskusi ini mengundang seorang blogger , bookstagram, content writer sekaligus brand ambassador Asus, Listiorini Ajeng Purvasti. Listiorini akrab dipanggil Ori sering merekomendasi buku-buku keren di akun Instagramnya. Saat ini Ori juga mengelola laman blognya sendiri yaitu HobiHep...