"Kak, maaf ya aku perlu uang nih. Nggak banyak kok, lima ratus ribu aja."
"Besok kita harus bayar pajak motor loh, jangan lupa lagi nanti kena denda."
"Sudahlah Nak, kondisi kalian sekarang beda. Kalau mau kerja lagi, biar Ibu dan Bapak yang jaga anak-anak."
...
Tetiba saja aku teringat semua perkataan keluargaku. Beban. Ah iya hidup itu kan memang penuh beban. Orang-orang sering melihat kehidupanku sekarang berkecukupan atau justru berlebihan. Bukan karena suamiku kaya raya tapi karena kenekatanku mengundurkan diri dari tempat yang melambungkan karirku.
Karir. Sekarang pun aku wanita karir, seorang profesional yang dibayar bukan oleh uang tapi kepuasan. Kata siapa menjadi ibu bukan sebuah profesi? Oh iya, mungkin karena para ibu itu tidak keluar rumah, menenteng tas kerja, menggunakan kalung ID juga sibuk dengan gadget-nya. Padahal kerjaan ibu itu 24/7, dan istirahat ketika memungkinkan.
Lah tapi bukannya sebelum aku mengundurkan diri pun jam kerjaku seperti restoran cepat saji yang buka 24/7? Lalu apa bedanya? Bayarannya? Wah, seringkali underpaid karena tidak sesuai dengan beban kerja. Mengurusi manusia dan menjadikannya manusia itu melelahkan. Mereka bukan mesin yang setiap kali bermasalah bisa di-reboot atau diganti perangkatnya.
Seringkali aku merasa menjadi seorang buruh berkerah putih. Profesiku sering dianggap prestisius, ditambah dengan tempatku bekerja menjadi salah satu institusi pendidikan ternama. Tapi, bagiku institusi ini tidak lebih dari sebuah perusahaan pencetak uang bagi yang berwenang. Bagaimana tidak, setiap kali aku dan rekan-rekan harus menghadapi para manusia yang mengaku dewasa ini, kami harus menjejakkan sidik jari pada sebuah mesin.
Itu kan biasa? Tidak biasa, buatku.
Resikonya setiap kami terlewat saking fokusnya kami bekerja, gaji kami berkurang di bulan depan. Ya, gaji kami dipotong. Banyak? Ya, soal banyak atau sedikit itu kan relatif. Ada rekanku yang menganggapnya seperti membeli sebungkus rokok atau minuman viral di Starbucks. Rekanku yang lain malah menyebut angka potongan gajinya tidak seberapa ketimbang sampingannya.
Tapi, buatku nominal itu banyak. Bisalah uang yang hilang itu kubelikan Pertamax untuk si Mio hitamku selama seminggu. Atau, membeli kuota untuk berkomunikasi dan membalas setiap tugas yang masuk ke email-ku. Seringkali akhirnya aku harus berlari dari satu gedung ke gedung lainnya hanya untuk membuktikan aku hadir dan menunaikan kewajibanku.
Oh aku harus berlari karena seringkali jam-jam penuh tuntutan itu berlaku ketika aku sedang asyik berdiskusi di dalam kelas. Padahal tempat ini dikenal dengan modernisasi dan digitalisasi sistem. Lalu transformasi digital yang dimaksudkan ini menjadi blunder buatku. Dengan aplikasi satu pintu yang melaporkan aktivitas harianku yang harus selalu kami akses setiap hari saja masih tidak mengugurkan keharusan setor sidik jari.
Hal-hal yang paling menyenangkan, syukurnya masih ada yang menyenangkan, adalah berdiskusi dengan jiwa-jiwa muda yang haus dengan pengetahuan dan kebijaksanaan dalam dunia. Mereka sering terkesima dengan dunia di dalam dirinya sendiri tapi lupa ada dunia lain yang mungkin mereka kenal hanya dari berita atau buku. Mereka adalah calon pembangun, penggerak dan harta bangsa Indonesia ini.
Menjadikan mereka manusia yang tidak cuma berakal dan cerdas tapi juga berhati nurani ketika kelak berada di puncak. Bukan manusia yang semena-mena karena merasa diri lebih hebat dan punya kuasa, apalagi membodohi orang yang tidak mengerti apa-apa. Persislah seperti para aktivis yang berubah menjadi politisi itu.
Indonesia 2024, dengan realita yang ada aku merasakannya dekat sekaligus jauh. Cuma hitungan bulan saja tahun ini berganti tapi secara idealnya sebuah bangsa yang maju, masih jauh panggang dari api. Aku pernah menitipkan harapan pada mereka yang pernah berbagi idealisme, tapi kini mereka pun sedang berjuang dengan realita.
Entah mau bagaimana bangsa ini. Pendidikan sudah ngga karuan, kondisi ekonomi dan sosial sangat miris, sedangkan mereka yang berkuasa lupa kami adalah tanggung jawab mereka. Para pendidik diperlakukan layaknya buruh perusahaan, buruh perusahaan diperlakukan layaknya budak. Lalu dimana nurani?
"mama, maamaaa..."
Ah iya, aku harus segera memandikan si bungsu dan menyiapkannya untuk kegiatan belajar hari ini.
Komentar
Posting Komentar